Oleh : Haedar Nashir
Apa yang kini jebol di Indonesia? Batas-batas. Orang ilmu sosial menyebutnya bounderies. Suatu pagar nilai dan sosial yang membingkai perilaku manusia dari tindakan-tindakan yang semaunya sendiri. Tindakan “semau-gue” kata orang Jakarta. Tindakan apa saja boleh. Tindakan serbabebas, bahkan menjurus ke liar. Lalu, lahirlah dunia yang serbabebas.
Lihatlah tayangan televisi di negeri ini, nyaris sama dengan di dunia Barat yang serbabebas. Boleh jadi meniru persis dengan televisi di manca negara yang menganut prinsip kekebasan media. Kecenderungannya ialah, semakin tengah malam, stasiun-stasiun media elektronik layar kaca itu malah berlomba menyajikan tayangan yang pornografis dengan vulgar, dikemas dalam model-model tayangan sumir. Begitu juga tabloid-tabloid media cetak, yang beberapa waktu terjaring program razia polisi, dan kini bermunculan lagi. Seronok sekali.
Sementara di ruang publik para elite masih juga tarik-ulur soal definisi pornografi dan pornoaksi. DPR pun tampaknya terombang-ambing dalam suasana psikologi politik polemik yang tak pasti itu, hingga RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) pun berubah menjadi RUUPP (Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi). Tentu apalah arti judul. Tapi nuansanya ialah memperlonggar, membikin sumir, ambigu, dan tak memihak kepastian mengenai pemberantasan hal-hal yang merusak moral masyarakat. Bersikap lunak terhadap kebebasan liar yang amoral, yang terkandung isyarat tak kuasa melawan pemilik modal dan liberalisme ekonomi dan pikiran.
Jelang Ramadlan semuanya biasanya berubah. Lebih-lebih di kala bulan suci umat Islam itu tiba sebulan suntuk. Media massa, terutama televisi berubah drastis menjadi tampak Islami. Menjadi beriman dan bertaqwa. Menjadi bermoral dan berakhlak mulia. Semua stasiun layar kaca itu bahkan jor-joran jualan program keislaman. Jualan tayangan spiritualitas religius. Continue reading Dunia tanpa Pagar