Profil singkat Kampung Ruteng Pu’u

Kampoeng itu berbatu-batu dari tempo doloe sampai sekarang…”



“…paka uwa koe haeng wulang Agu langkas haeng ntala. Wake nceler ngger wa, saung bembang ngger eta. Neka koe conga bail boto poka bokak, neka tengguk bail boto teku tengu,” kata-kata bijak para leluhur

 Banyak orang mengenal kota Ruteng, namun tak kalah banyak juga orang yang mengenal Kampung Ruteng. Kalau Ruteng diucapkan secara biasa, sedangkan suku kata terakhir pada sebutan kampung Ruteng, yakni eng diucapkan sama seperti huruf e pada awalan ke. Kampung Ruteng terletak di Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT. Dari kota Ruteng, kampung ini berjarak kurang lebih 4-5 km. Kampung ini dapat dijangkau dengan ojek atau bemo, juga bis pariwisata. Dibagian timur, kampung ini berbatasan dengan kampung Lempe, pada bagian barat berbatasan dengan Wae Teku Leda. Di bagian utara berbatasan dengan Beo Taga, sedangkan pada bagian selatan dengan wilayah Leda. Tiga sumber air mengelilinginya yakni, Wae Lideng, Wae Moro, dan Wae Namut.
Mengapa kampung ini diberi nama kampung Ruteng? Menurut para sepuh adat nama itu sudah lama menjadi landmark kampung itu. Meski mereka tak tahu pasti mengapa diberi nama demikian. Ada asumsi bahwa mungkin nama itu diberi karena banyaknya pohon Ruteng (beringin atau ficus) di sekitar kampung itu. Pohon ini tidak berakar hawa, daun-daunnya kecil berbentuk bulat memanjang. Pucuk dari dedaun pohon itu sering digunakan sebagai sayur-mayur oleh masyarakat setempat (Anselmus Baru, Menyimak Nilai Kebersamaan Dalam Mbaru Niang Ruteng, FFA Unwira, Kupang , 2004, hal. 17-18).
Ada kebiasaan dalam tertentu dalam masyarakat berkaitan dengan penamaan suatu tempat, yakni dengan mengambil sesuatu yang menonjol dari tempat itu. Misalnya, di suatu tempat dominan ditumbuhi pohon mangga atau pau dalam bahasa Manggarai maka tempat itu dinamakan Pau. Contoh lain misalnya, Tengku Tok karena ada terletak di pinggir jurang(tengku), Poco karena tekstur tempat bergunung-gunung. Ketika kita memasuki Kampung Ruteng kita akan melihat pohon-pohon beringin yang begitu rindang di sekitar kampung. Itulah alasannya pemberian nama ini, meski belum ada penelitian yang lengkap tentang nama itu.
Kampung Ruteng masih menyimpan jalinan tradisi yang kental dan pola perkampungan yang kuat berakar pada pola arkais masyarakat Manggarai. Misalnya, susunan batu yang tertata rapih menuju perkampungan dan yang mengitari halaman kampung yang membentuk lingkaran.

Asal usul orang Ruteng dan Runtu
Kampung Ruteng sejak dulu dihuni oleh dua klan yang berbeda, Ata Ruteng dan Ata Runtu. Suku Ruteng dikisahkan mempunyai leluhur orang Minangkabau, Sumatra Barat. Leluhur mereka terdiri dari Nggoang(yang memperanakan orang Ruteng), Roang yang memperanakan orang Pitak, dan Wulang yang memperanakan orang Leda. Mereka datang dari Minangkabau melalui Goa(Sulawesi Selatan), kemudian menyusur melewati Bima(NTB), dan pada akhirnya mendarat di Warloka(Manggarai Barat). Bersama juga ada leluhur orang Todo menepi di Satar Mese. Ketika tiba di Nte’er atau Pela, leluhur orang Todo dan leluhur orang Ruteng berpisah. Orang Ruteng meneruskan perjalanan menuju arah timur dan menetap di Ndosor (sebuah wilayah pegunungan di bagian selatan Kota Ruteng, sekarang di sebut poco Nenu) (Ibid, hal. 19).
Sementara historigrafi orang Runtu hanya diceritakan melalui cerita rakyat yang diturun-temurunkan. Ada kisah bahwa leluhur mereka adalah Sawu. Ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Setibanya di Manggarai Sawu menempati wilayah Mando Sawu. Ia memiliki dua anak, Sawu Sa yang laki-laki dan Riwe yang perempuan (Robert Syukur, Adak Penti Compang Ruteng: Sebuah Simbol Ziarah Pencarian Diri Orang Ruteng, unpublicated, hal. 12). Ada keyakinan bahwa mereka yang pertama menempati kampung itu dan membangunnya, yang mereka sebut Beo Ruteng atau kampung Ruteng.
Pola kampung
Kampung Ruteng memiliki dua rumah adat (Mbaru Niang). Ada yang disebut Mbaru Tambor untuk pele sale, dan ada Mbaru Gendang untuk pele awo. Dalam penelusuran di setiap perkampungan Manggarai, hanya kampung Ruteng-lah yang mempunyai struktur dualistik pada kampungnya dengan dua rumah adat. Di sekitar halaman terdapat Like, susunan bebatuan nan rapih tempat pejalan kaki. Pada sentrum kampung ada sebuah Compang, semacam sebuah bangunan megalitik yang tersusun atas batu-batu dan menjadi mesbah tempat persembahan. Compang ini yang berbentuk oval ini digunakan juga untuk kuburan para leluhur dan tetua adat yang sudah meninggal.
Kampung ini berpola melingkar. Dalam bahasa Manggarai di sebut beo. Beo merupakan kesatuan wilayah genealogis karena didiami oleh mereka yang mempunyai hubungan darah atau keturunan satu sama lain. Beo berasal dari kata bea’o. Bea artinya datar atau rata. Sedangkan bea’o merupakan ucapan untuk menyebut tanah rata/datar. Semacam sebuah ungkapan bernada kekaguman. Kemudian kata itu disingkat beo, yang artinya kampung. Ada ungkapan, “ pa’ang’n olo ngaung’n musi agu Beo’n One.” Yang berarti, dari gerbang kampung sampai belakang kampung, dan bagian dalamnya. Ungkapan ini menjadi konsep dasar arti sebuah kampung atau beo.
Bagian pertama adalah Pa’ang. Menurut Verheijen pa’ang berarti halaman depan kampung (A. J. Verheijen, Kamus Manggarai I, Manggarai-Indonesia, S-Grafenhage-Nederland: Koninjik Institut Voor Taal-Land-En Volkenkunde, 1967, hal. 496). Pa’ang merupakan jalan utama akses menuju pusat kampung. Menurut penuturan para sepuh bahwa dulu terdapat dua jalan. Jalan yang pertama dilalui oleh masyarakat biasa dan para budak dengan badan membungkuk sebagai sikap hormat. Untuk memasuki rumah adat mereka harus berjalan pada sisi sayap Like leok dengan sikap hormat. Jalan yang lain, yang tersusun batu-batu sering dilalui para pembesar ke-adak-an yang disebut keraeng, yakni raja, dalu, gelarang, dan para tamu terhormat yang hendak memasuki kampung dan rumah adat. Sekarang jalan bebatuan yang tersusun rapih itu masih ada dan menyimpan rahasia tersendiri tentang masa silam. Pa’ang ini tersusun oleh batu-batu kali dan membentuk anak tangga yang terkesan mitis . Bagian-bagian dari pa’ang adalah, Watu Jarang, Watu Mentik, Porong Telo, Bangka Dari, dan Leke Jere.
Watu jarang (: batu kuda) merupakan tempat bagi para pembesar Ruteng untuk menunggang atau turun dari kuda ketika hendak bepergian atau kembali. Bagian ini terletak pada ujung Pa’ang. Watu Mentik (:batu semut) terletak pada bagian akhir pa’ang. Di sini para ibu dan anak-anak menjemput para bapak dan tamu terhormat untuk memberi cepa (sirih pinang), sebagai bentuk penyambutan. Jika ada penyambutan tamu penting maka bukan hanya disambut dengan cepa tapi juga dengan tuak agu manuk kapu (: ayam dan arak penerimaan).
Porong Telo merupakan bagian yang unik. Sebutan ini berasal dari kata porong yang artinya menyaksikan dan Telo artinya secara bersama-sama. Porong Telo artinya tempat untu menyaksikan secara bersama suatu peristiwa, misalnya pertemuan adat, perundingan, pengadilan adat. Dilihat dari aspek fungsional porong Telo merupakan tempat penting dalam ke-adak-an Ruteng. Menurut penuturan para sepuh bahwa Porong Telo digunakan sebagai tempat untuk mendengar keputusan atas suatu persoalan. Porong Telo menjadi locus eksekusi secara fisik maupun moral terhadap seorang terdakwa dalam pengadilan adat (Baru: 2004, hal. 28).
Bangka Dari lain lagi. Tempat itu merupakan tempat khusus buat para “keraeng adak” untuk berjemur mencari kehangatan mentari pagi. Bangka Dari menyerupai sayap dan tersusun oleh bebatuan yang rapih. Tempat ini juga digunakan untuk memperdengarkan keputusan ke-adak-an. Di sisi lain, ada Leke Jere, tempat mengenakan busana (selek) bagi mereka yang hendak berperang atau menarikan tarian caci. Leke Jere juga merupakan tempat penyambutan kembali mereka yang pulang berperang.
Bagian kedua adalah Beo’n One (: kampung dalam). Beo’n One bermakna keseluruhan kampung beserta bagian-bagian di dalamnya. Pola kampung ini tersusun demikian, rumah-rumah penduduk, natas (halaman depan), Mbaru Niang (rumah adat yang terdiri dari Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor), Compang (: mesbah), Watu Runtu (: batu landak), Watu Leti Jarang(batu penginjak untuk menunggangi kuda), Watu Ndotuk (batu tambatan tali pegikat kuda atau kerbau).
Bagian ketiga adalah rumah adat. Rumah adat merupakan milik bersama suatu kelimpok masyarakat adat. Namun, tidak semua orang dapat tinggal di dalamnya. Yang mendiami rumah adat adalah pemimpin masyrakat adat. Yang dimaksud di sini adalah tu’a golo (: sepuh kampung), tu’a gendang (:sepuh rumah adat), dan tu’a teno(:sepuh pengatur pertanahan). Mereka mendiami rumah adat bersama keluarganya.
Bagian keempat adalah Compang. Compang berarti mesbah persembahan (Robert M. Z. Lawang, Stratifikasi Sosial di Cancar, Manggarai, Flores Barat, Disertasi Doktoral, UI, Jakarta, 1988, hal.67). Compang tersusun oleh batu yang lebih besar dari pada Like, disusun rapih, pada bagian tertentu di letakan bahan persembahan. Di tengahnya ditanam pohon Ruteng (beringin) atau juga haju kalo (pohon dadap). Di kampung Ruteng Compang dijadikan juga tempat pemakaman jasad para leluhur. Dalam kebiasaan orang Ruteng jika ada sepuh yang akan dikuburkan di Compang, maka pihak keluarga harus membunuh dua ekor kerbau sebagai hewan kurban. Satu ekor kerbau dikurbankan saat penggalian liang lahat dan disebut “kaba tekang tanah.” Secara harafiah berarti kerbau “pelubang” tanah. Dalam maksud bahwa hewan itu dikurbankan pada waktu menguburkan orang mati. Seekornya lagi dikurbankan sewaktu upacara kelas (kenduri). Para istri golongan keraeng juga bisa dikuburkan di sini, tetapi syaratnya lain, cukup dengan dua ekor kambing waktu penguburan dan waktu kenduri.
Bagian kelima adalah Watu Runtu, sebuah batu berukuran besar yang agak rata yang dijadikan batu mesbah. Watu Runtu ini terletak di bagian depan Compang Ruteng. Masyarakat setempat meyakini bahwa dibalik batu ini jasad Sawu Sa dimakamkan. Batu ini dilihat sebagai “pangga pa’ang,” yang berarti pelindung dan penjaga bagian depan kampung dari segala macam penyakit, penolak serta penjaga keseluruhan kampung dari serangan musuh. Watu Runtu menduduki tempat yang penting dalam ritus-ritus sekitar Compang, dimana menjadi locus peletakan sesajian dan persembahan (helang). Menurut keyakinan masyarakat setempat persembahan yang diletakan pada Watu Runtu akan diterima Mori Keraeng dan para leluhur. Konon, bila orang Ruteng hendak berperang semua senjata diletakan di atas Watu Runtu sebelum dipakai. Di sini dibuat ritus sakral memohon perlindungan dalam perang (rampas).
Bagian keenam adalah Like leok. Like berarti susunan bebatuan, sedangkan leok berarti melingkar. Like Leok merupakan susunan batu yang melingkar atau mengitari Natas (halaman kampung), di depan rumah warga, yang berbentuk lingkaran oval telur. Para tamu terhormat dan para keraeng adak berjalan melewati Like Leok bila hendak memasuki rumah adat ataupun rumah huniannya. Tempat ini juga digunakan warga untuk menyaksikan berbagai ritual adat atau pergelaran seni seperti tarian Caci, Sae Kaba, Danding, dsb.
Bagian ketujuh adalah Watu Ndotuk, batu pasak atau batu tambatan. Batu ini berukuran sedang dan menyerupai pasak, yang ditanam berdiri tegak pada sisi pinggir Like Leok. Batu ini berfungsi sebagai tambatan tali pengikat kuda tunggangan saat pelaksanaan upacara adak podo agu curu wina (upacara penjemputan istri atau mengantar istri), serta tempat mengikat kerbau belis bagi orang yang hendak menikah dengan gadis Ruteng.
Bagian ketujuh Watu Ci’e (batu garam) merupakan batu yang berbentuk cekung yang terletak di bagian depan Like leok. Batu ini berfungsi sebagai tempat untuk memberi garam untuk kuda bawaan atau untuk kerbau belis. Di bagian terdapat Watu leti jarang (batu besar yang menjadi tempat untuk membantu orang yang hendak menunggang kuda atau turun dari kuda). Biasa digunakan dalam upacara adak podo agu curu wina (upacara antar jemput istri) atau penerimaan tamu terhormat. Dalam upacara ini si gadis yang menjadi istri perjaka Ruteng dijemput secara adat. Ia harus turun pada batu ini kemudian ditandu untuk memasuki rumah adat, sebelum upacara menginjak telur di depan pintu rumah adat. Upacara ini menjadi semacam inisiasi untuk istri orang Ruteng untuk masuk menjadi anggota klan.
Bagian kedelapan yakni Ngaung, kolong rumah. Dalam konsep dasar pang’n olo’n ngaung’n musi, ngaung dimaknai sebagai wilayah belakang sebuah kampung. Kampung Ruteng memiliki ngaung yang landai karena topografinya yang berbentuk bukit datar. Watu Naga terletak di Ngaung. Masyarakat meyakini bahwa Watu Naga (batu naga) merupakan batu roh penunggu dan pelindung kampung dari serangan musuh dan penyakit. Mitos yang berkembang menceritakan bahwa batu ini bisa berpindah-pindah dan bergerak dengan sendirinya mengitari seantero kampung. Batu ini terletak di belakang rumah adat (Mbaru Gendang). Pada batu ini acap kali diletakan sesajian berupa telur ayam kampung. Konon batu ini memiliki hubungan dengan dengan Watu Naga yang terletak di depan Compang Ruteng. Ada ungkapan, “eme kolang beo, takung hia bolo, takung hia musi.” Artinya, kalau kampung berada dalam keadaan bahaya, persembahkan sesajian untuk Watu Naga yang ada di depan Compang dan yang ada di belakang beo.
Unifikasi Ata Ruteng dan Ata Runtu
Ada sebuah cerita rakyat yang menggambarkan bahwa pada mulanya kampung Ruteng dihuni Ata Runtu. Orang Runtu (Ata Runtu) menguasai kampung Ruteng dan menjadikan sebagai sentrum keseharian mereka. Konon, Ata Runtu tidak memiliki keahlian membuat api. Sementara Nggoang (leluhur orang Ruteng), yang tinggal di Ndosor bisa membuat api.
Kisahnya begini, “suatu ketika Ata Runtu memandang ke arah selatan perkampungan tepatnya di Poco Nenu. Ata Runtu melihat asap lalu bergegas ke sana. Tanpa sempat meminta mereka mengambil api dengan membakar secarik cawat. Orang Runtupun membuat api di Beo Ruteng untuk memasak makanan mereka. Dari atas pegunungan Ngoang melihat asap di kampung. Karena berang Iapun meluncur ke sana, dan menuntu Ata Runtu karena ketidaksopanan mereka. Mereka telah mengambil tanpa meminta. Ata Runtu mengakui kekilafan mereka dan bersedia menerima hukuman sebagai ganjaran. Ganjaran yang harus dibayar Ata Runtu adalah menyingkir dari kampung itu atau dibunuh. Rupanya mereka lebih memilih menyingkir ke daerah di sekitar Wae Lideng. Kampung itu pun dihuni orang Ruteng. Sejak saat itu kampung itu bernama Beo Ruteng .”
Dalam perkembangan lebih lanjut, Ata Runtu disebut Anak Rona (wae nara atau pihak laki-laki) dan Ata Ruteng disebut Anak Wina (wae wina atau pihak perempuan). Jadi, secara struktur internal kesukuan adat Ruteng terbagi ke dalam dua klan yakni, Niang awo (mbaru gendang, rumah Gendang) dan Niang Sale (Mbaru Tambor, rumah Tambur). Sekarang kedua klan ini dipandang secara integral sebagai pewaris beo Ruteng. Mereka ada secara bersama sebagai sebuah entitas sosial memiliki roh kesatuan, seperti ungkapan Heidegger sebagai ada-bersama, Mitdasein.
Ada sebutan Ruteng Pu’u. Pu’u artinya empu atau akar. Bisa ditafsir sebagai ajakan untuk semua Anak Ruteng untuk menyintai kampung halaman karena mereka adalah empu pewaris budaya kampung Ruteng.
[copyright @ fianroger@yahoo.co.id]. Disusun oleh: Fian Roger*
Ket.: *penulis adalah putera Ruteng dari klan Runtu, sedang menjalani studi di Fakultas Filsafat Agama Unwira kupang. Tulisan ini disarikan dan diadaptasikan dari hasil penelitian akhir Fr. Anselmus Baru, Cmf yang sekarang menjadi misionaris di Venezuela berjudul, “Menyimak Nilai Kebersamaan Dalam Mbaru Niang Ruteng, FFA Unwira Kupang: 2004.”

4 thoughts on “Profil singkat Kampung Ruteng Pu’u”

  1. nama saya Hironimus Rega,,,saya sangat tertarik dengan budaya, adat istiadat, dan segala sesuatu tentang Ruteng,,,
    terutama soal keturunan,,,menurut bapak saya (PIus Sera), Kami wa’u Pitak dari Fam REGA,,tp tinggal di Lame-Mano.
    kalau saya mendapat informasi tetntang keturunan REGA, saya berencana menulis silsilah keluarga REGA dan asal Mulanya.
    Dengan informasi ini saya sedikit menangkap beberapa hal yang berhubungan dengan apa yang saya pikirkan. sepertinya
    saya termasuk Keturunan Ruteng Pu’u…Mohon Penjelasan, tanggapan dan Bantuannya tentang ini. Terimakasih

    1. Kraeng Hironimus, dalam riset sejarah berlaku pola standar yaitu dengan melakukan deepinterview dengan informan primer (dlm konteksnya kraeng, bisa melakukan wawancara mendalam dengan keturunan wa’u pitak yg paling Tua, Tu’a golo pitak, serta orang dalam satu garis keturunan yg dituakan). Deepinterview bisa dilakuan berulang dalam rentang waktu tertentu, mengingat tidak semua informan bisa menuangkan semuanya dalam sekali pertemuan. Saya sarankan dilakukan 3 kali, kemudian coba di konfrontir dengan informan lainnya. Saran saya, semoga berkenan.

Leave a comment